Laki-laki itu duduk di sebelahku. Matanya sedikit terpicing, terpaku kejalanan di depannya. Kedua tangannya memegang kemudi dengan santai namun mantap. Wajah lembutnya dihiasi senyum yang sangat kusukai. Suara merdu Michael Bubble yang menyanyikan lagu “Put Your Hand On My Shoulder” mengalun pelan dari CD Player, lembut dan tenang, seolah berusaha semakin mensyahdukan suasana malam ini.
Beberapa detik lalu kami tertawa bersama. Hal yang sudah lama tidak bisa kami lakukan. Hal yang jujur saja sangat aku rindukan. Entah itu suara tawanya, senyum khasnya, atau pun tatapan matanya saat tertawa. Moment yang sangat berharga bagiku.
Aku menatap ke luar jendela, ke arah jalanan yang ditaburi cahaya lampu malam yang berkelap-kelip indah. Dia kembali berkonsentrasi dengan jalanan di hadapannya. Untuk sesaat membiarkan keheningan yang damai menyelimuti kami, membiarkan Michael Bubble menguasai atmosfer diantara kami.
Lalu entah dari mana, muncul perasaan yang sudah lama kukenal. Perlahan, namun pasti dan menyakitkan, perasaan itu menyelinap ke dalam hatiku, seperti jarum suntik yang menembus kulit dan daging. Aku menghela nafas, berusaha menahan sakit itu semampu ku. Tapi ternyata lagi-lagi aku kalah. Kini perasaan itu menguasai hatiku, seperti malam yang mengalahkan siang, perlahan, anggun sekaligus mengerikan.
Aku menunduk menatap lututku. Berusaha menjaga supaya emosi ini tidak meluap keluar. Perlahan aku menoleh ke arahnya. Menatap wajahnya, mengingat setiap detail yang bisa kuingat, meresapi aura teduh yang keluar dari sosoknya, menghirup aroma tubuhnya yang tercium samar-samar. Tuhan…betapa besar rasa sayangku untuk laki-laki ini…entah sejak kapan…mungkin sejak Engkau menggariskan kami untuk bertemu dan menghabiskan malam bersama dua tahun yang lalu. Di antara bintang di langit dan di lembah di bawah kami. Disaat aku menyadari bahwa ternyata diriku menyayangi laki-laki ini dengan sepenuh jiwa ragaku. Kesadaran yang mengejutkanku. Sebuah perasaan yang seketika menghentak dan menghancurkan ruang damai di hatiku. Perasaan yang menyeretku ke sebuah tempat yang tidak kukenal. Indah sekaligus menakutkan dan terlarang…
Dia tersadar dan menoleh kearahku. Menatap dengan tatapannya yang lembut namun menusuk tajam hatiku.
“Kenapa ?” ujarnya.
“Gak apa2…cuma pengen liat muka Kamu aja…” ujarku sambil tersenyum.
Dan…Tuhan ! Dia tersenyum lembut…sebuah senyum yang bisa membunuh akal sehatku. Aku benci melihat dia tersenyum seperti itu, tapi sekaligus menikmatinya. Aku terpaku menatap wajahnya, tidak bisa berkata apapun. Aku meremas kedua tanganku, mencoba mencari cara supaya menjaga diriku tetap waras dan akal sehatku pada tempatnya. Sekaliii…saja…sekali saja ya Tuhan…aku sangat ingin menyetuh dan memeluknya…sekali saja…atau aku bisa mati karena perasaan ini.
“Udah nyampe rumah kamu nih…” katanya.
Aku tersadar dan melihat keluar, disana rumahku berdiri dengan tenangnya, menawarkan perlindungan untuk hatiku yang saat ini rapuh.
“Makasih ya. Kamu udah mau nganterin Aku beli cincin buat calon tunangan Aku. Dia pasti seneng dan terkejut waktu Aku ngelamar dia besok waktu acara makan malem. Sekali lagi makasih banyak ya…” ujarnya.
Aku terpaku, mulutku kelu, tak bisa berkata apa…
“Hmm…ya…sama2…” ujarku “Aku turut berbahagia ya buat kalian…Dia itu sahabatku…kamu harus jaga dia baik2…yah ?”
Dia mengangguk mantap dan tersenyum. Sepintas tangannya menyentuh tanganku sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Tolong…jangan lakukan itu…hal itu menyiksaku !!
Aku menatap wajahnya lagi. Menikmati moment ini untuk terakhir kalinya. Tanganku terulur, ragu hendak menyentuh wajahnya. Apakah aku berani untuk menyentuhnya ? Tuhan…dia begitu dekat denganku. Bahkan aku bisa menghirup aroma tubuhnya dan merasakan hembusan nafasnya. Dia begitu dekat…tapi tidak dapat disentuh. So close…but untouchable…
Akal sehat menyuruhku untuk membuka pintu mobil dibelakangku dan kemudian beranjak keluar. Bunyi pintu mobil yang menutup menghancurkan hatiku.
Aku berlalu tanpa menoleh lagi. Namun satu suara lembut yang memanggil namaku membuat langkahku terhenti. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum.
“Sekali lagi terima kasih banyak ya…selamat istirahat…”
Aku tak bisa berkata apa2. Tenggorokanku tercekat menahan sesak. Mataku panas oleh luapan emosi. Aku hanya bisa tersenyum setulus yang aku mampu dan mengangguk, menelan semua rasa sakit yang hampir muncul ke permukaann. Serasa menelan seribu jarum yang menusuk2 tenggorokan, turun ke perutku, menusuk hatiku, lalu menusuk jantung dan paru-paruku hingga aku lupa caranya bernafas.
Detik kemudian laki-laki itu lenyap dari pandanganku. Hilang ditelan gelap malam bersama deru mobil dan debu jalanan yang berterbangan. Hancur…hilang…seperti serpihan hatiku yang kini terserak di lautan jiwa.
Dan aku…masih berdiri disini…memandang hampa kearah dia menghilang. Berharap dia datang berlari dan merengkuh hati rapuhku ke dalam pelukan hangatnya. Sebuah harapan mustahil yang justru kian menyakitiku, kian membunuhku. Bulir bening mengaliri pipiku, membentuk sungai-sungai kecil yang menambah perih luka hatiku. Semakin deras karena jebolnya tanggul pertahanan emosiku.
Aku menatap langit, ke arah bintang yang bersinar lembut dan berkelip manja. Sinarnya semakin redup…redup…dan redup…terhalang air mata yang menggenang. Terhisap sesak dan pusaran rasa sakit. Tenggelam dalam lautan perih yang hitam dan tak bertepi. Dan aku…hilang di dalamya…tak terselamatkan…